DPRA jangan gugat Bawaslu RI ke DKPP.
AtimNews.com | Aceh Timur - Zainal Abidin,SE sebagai pemerhati penyelenggara Pemilu Aceh, sangat mengapresiasi hasil rapat Banmus DPRA yang akan melakukan gugatan DKPP kepada Bawaslu RI pasca dilantiknya anggota Panwaslih Aceh versi Jakarta walaupun hal ini sedikit terlambat.
Menyimak pemberitaan sebelumnya di media pada tanggal 7 Mei 2018, DPRA akan menggugat Bawaslu RI terkait perekrutan Panwaslih Aceh yang tidak sesuai dengan UUPA. Hal ini berdasarkan hasil sidang Badan Musyawarah dalam sidang Paripurna DPRA pada Hari Senin tgl 7/5/2018, menyatakan proses perekrutan KIP dan Panwaslih Aceh tunduk kepada UUPA akibat adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah digugat sebelumnya.
Sebagai mantan Pengawas Pemilu Aceh Timur sejak 2012 s/d 2017 yang lalu, Zainal Abidin,SE mengingatkan DPRA agar lebih hati-hati dalam melakukan rencana gugatan tersebut.
Pada prinsipnya gugatan ke DKPP adalah pengaduan mengenai moral, etika dan filosofis, apabila Integritas dan Profesionalisme penyelenggara dan pengawas tidak sesuai dengan Azas-asaz yang telah ditentukan.
Menganalisa dan melakukan kajian akan rencana gugatan yang akan dilakukan DPR Aceh , pokok perkara yang dapat digugat terhadap Bawaslu RI sesuai dengan Peraturan DKPP No.2 Tahun 2017 tentang Peraturan tentang Kode Etika dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu pada Pasal 11 yaitu diduga Bawaslu RI tidak melaksanakan prinsip berkepastian hukum dengan pelanggaran dugaan etik mengenai : pertama ; Tidak bersikap dan bertindak secara tegas terhadap apa yang diperintahkan secara oleh peraturan perundang-undangan. Dan kedua ; Melakukan tindakan diluar Yuridiksinya.
Serta dapat dianggap dalam hal ini tidak melakukan perintah Keputusan Mahkamah Konstitusi RI Putusan MK No. 66/PUU-XV/2017 Jumat pada tanggal 12/1/2018, dimana potongan keputusan tersebut berbunyi ;
" Mahkamah Konstitusi mengingatkan kepada penyusun Undang Undang untuk menghormati kekhususan Aceh sebagaimana tertuang dalam UUPA. Kendati Mahkamah Konstitusi tidak memandang KIP dan Panwaslih bagian dari kekhususan Aceh, tetapi konteks historis berkenaan dengan nama, komposisi keanggotaan, dan prosedur pengisian anggota harus dihormati."
Jadi sangat jelas tidak dapat dibantah bahwa secara historis berkenaan dengan nama, Bawaslu RI juga tidak boleh menggunakan nama Panwaslih Aceh pada konteks perekrutannya kecuali kewenangan tersebut diserahkan 100% kepada UUPA.
Lantas pertanyaannya apa yang akan dicari DPR Aceh yang berencana menggugat kewenangan tersebut ke DKPP kalau output hasil gugatan di DKPP hanya akan menghasilkan dua perkara yaitu; hanya berupa Teguran Tertulis untuk seluruh Komisoner Bawaslu RI atau Peringatan Keras, tetapi substansi kewenangan perekrutan tidak akan berubah.
Sebagai catatan DKPP telah menyidangkan 936 pengaduan tentang Etik, malah tidak semua Komisoner KPU atau Bawaslu Provinsi atau Kabupaten Kota yang mendapatkan kedua Punishment diatas, bahkan ada yang dipulihkan namanya karena tidak terbukti melanggar Etik, seperti kasus Panwaslih Aceh Timur pada Pilkada 2017 yang lalu, Ketua dan seluruh anggota di pulihkan namanya.
Sebaiknya gugatan ini harus dilakukan secara perdata kepada Bawaslu RI dan Pansel Panwaslih Aceh versi Bawaslu, atau dapat diadukan kembali ke Mahkamah Konstitusi mengenai adanya Informasi atas kewenangan tersebut dianggap ditelikung secara sistematis tanpa memperhatikan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Apabila hal ini tidak segera digugat, pada Pilkada Aceh Tahun 2023 dipastikan akan terjadi dualisme pengawas pemilu diseluruh Kabupaten/kota, karena Bawaslu akan berencana melakukan perubahan lembaga pengawas dari bersifat adhoc menjadi permanen atau sebutannya akan menjadi Bawaslu Kabupaten.
Jika kemudian Pemerintah Aceh dibebankan untuk melakukan perekrutan lembaga tambahan pada Pilkada ke depan, kita akan melihat Aceh adalah daerah yang akan melakukan pemborosan biaya pengawasan secara luar biasa pada Pilkada seterusnya, semoga hal ini tidak terjadi. (Red)